Minggu, 22 Juni 2014

Hubungan Jurnal Self Injury dengan teori REBT



Dalam jurnal yang berjudul “Rumah Sakit Menyajikan Self-Harm dan Risiko Fatal dan Non-fatal penanggulangan : Systematic Riview dan Meta-Analysis : e89944” hasilnya bahwa resiko self injuri awal berasal dari self injuri yang ringan dan merupakan alasan untuk masuk rumah sakit. Berdasarkan penelitian, mengulangi menyakiti diri juga telah dikaitkan dengan peningkatan risiko bunuh diri lebih lanjut. Pasien yang hadir ke rumah sakit untuk menyakiti diri lebih dari sekali memiliki sekitar dua kali lipat risiko bunuh diri berikutnya dibandingkan dengan mereka yang menyajikan hanya sekali. Selain itu, ada pengakuan yang berkembang bahwa perkiraan ulang menyakiti diri dipengaruhi oleh metode pencatatan peristiwa berulang. Berdasarkan penelitian bahwa kondisi geografis juga mempengaruhi tingkat self injuri, terutama di negara-negara Asia. Tingkat keseluruhan pengulangan non-fatal merugikan diri dalam 1 tahun adalah 16,3 %.  
Di sini, rumah sakit mempunyai peran penting untuk hal ini, bagaimana doktrin dari rumah sakit ini menekankan supaya kejadian ulang self injuri non-fatal berubah menjadi fatal untuk selanjutnya tidak terulang.  Kaitannya dengan teori REBT milik Albert Ellis adalah dengan mengubah pemikiran irasional menjadi rasional. Kita ketahui bersama, self injuri/menyakiti diri sendiri adalah perilaku yang irasional. Mereka menyakiti diri sendiri tanpa sebab yang jelas dan dapat merugikan diri sendiri. Gangguan kepribadian self injuri ini pada awalnya tidak ada penerimaan diri yang positif dan selalu menyalahkan dirinya atau benci dengan dirinya sendiri, sehingga timbullah bentuk fisik menggores-gores lengan, membenturkan kelapa dilantai/didinding, menjambak-jambak rambutnya sendiri dan masih banyak perilaku yang lain. Tetapi anehnya individu dengan gangguan kepribadian self injuri ini menikmati kegiatannya tersebut tanpa merasakan ngeri ataupun sakit, dan menganggapnya hal yang wajar. Sebagai individu yang normal, tentu kita akan merasakan sakit, jangankan menggoreskan silet tajam di lengan, terkena pisau saja rasanya sudah sakit. Nah pemikiran individu self injuri yang seperti inilah yang perlu di terapi dengan teori REBT milik Albert Ellis.
Awal yang harus kita lakukan adalah mengubah B (Belief) irasional menjadi rasional. Mungkin bagi individu penderita self injuri, menyayat pergelangan tangan hal biasa bahkan ia sangat menikmatinya. Tetapi coba di lihat dari segi kesehatan, bagaimana jika lukanya nanti terinfeksi dan akan menjadi parah bahkan bisa di amputasi (di potong), maka ia akan kehilangan anggota tubuhnya. Jikapun tidak terinfeksi, bekas luka sayatan tersebut akan berbekas dan hitam. Bagi seorang wanita yang ingin selalu tampil sempurna akan terasa minder dengan bekas luka ini, sehingga akan mempengaruhi hubungan sosial/komunikasi dengan lingkungannya.
Dari segi psikologis, bahwa self injuri adalah hal yang sangat merugikan. Perilaku self injuri pada awalnya adalah karena adanya A (activating) masalah yang tidak terselesaikan dengan baik (stress, depresi dll) yang kemudian muncullah C (consequence) yang dalam hal ini adalah self injuri. Apakah dengan self injuri ini permasalahan individu tersebut akan selesai? tidak begitu. Self injuri ini hanya sebuah pelampiasan yang tidak akan menyelesaikan masalah. Terlebih lagi jika di tinjau dari segi kesehatan, akan menimbulkan masalah kesehatan yang serius, dan ini sesuai dengan jurnal di atas, pengulangan menyakiti diri sendiri di mulai dari kejadian non-fatal yang merupakan alasan untuk masuk rumah sakit. Kemudian terapis/konselor melawan D (dispute) keyakinan-keyakinan irasional agar klien/konseli bisa menikmati dampak-dampak E (efek) psikologis positif dari keyakinan-keyakinan yang rasional. Secara psikososial, individu penderita self injuri ini akan di jauhi masyarakat karena di anggap aneh dan berbeda. Hukuman psikososial lebih kejam, sehingga bersikaplah seperti biasa jika ada masalah yang memang belum terselesaikan. Dan carilah jalan keluar untuk itu tanpa melukai dan menyakiti diri sendiri. Misalnya dengan berbagi cerita kepada sahabat atau teman yang mungkin bisa memberi masukan untuk penyelesaian masalah, bukan untuk di pendam sendiri.