Rabu, 01 Juli 2015

STUDI KASUS

STUDI KASUS
SELF INJURY PADA MAHASISWA
Di susun guna memenuhi tugas mata kuliah Studi Kasus
Dosen Pengampu : Ariadi Nugraha S.Pd



Kelas C / VI

Di susun Oleh :
1.      Endah Kusumawati    (12001147)
2.      Nofa Laila Nurfitria    (12001162)
3.      Lilis Ernawati              (12001163)

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN

2015

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang .............................................................................  1
B.     Identifikasi  Masalah..................................................................... 6
C.     Batasan Masalah ...........................................................................  7
D.    Rumusan Masalah .........................................................................  7
E.     Tujuan Penelitian ..........................................................................  8
F.      Manfaat Penelitian ........................................................................  8
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A.    Pengertian Self-Injury (Penderita diri non bunuh diri) .................  9
B.     Jenis-Jenis Self Injury ...................................................................  12
C.     Bentuk-bentuk Self Injury  ............................................................  13
D.    Karakteristik Pelaku Self Injury .....................................................  15
E.     Faktor Penyebab Self Injury .........................................................  16
BAB III METODE PENELITIAN
A.    Alat Pengumpul Data  ..................................................................  18
1.      Wawancara .............................................................................  18
2.      Observasi ................................................................................  22
B.     Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................  26
C.     Biodata Klien ...............................................................................  26

BAB IV PEMBAHASAN
A.       Data Permasalahan  ......................................................................  27
B.       Layanan Bimbingan dan Konseling .............................................  29
BAB V PENUTUP
A.       Kesimpulan  ..................................................................................  31
B.       Saran .............................................................................................  31
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................  33

 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Masalah selalu muncul dalam bentuk dan tingkat kerumitan yang bermacam-macam.  Apabila  ada  ketidaksesuaian  dalam  suatu  situasi  antara  keadaan  yang sebenarnya  dengan  tujuan,  dan  didalam  situasi  tersebut  mengandung  suatu perintang  bagi  seseorang  dalam  mencapai  tujuan,  maka  akan  menimbulkan permasalahan.
Masalah  merupakan  tantangan  dalam  menjalani  hidup,  terlebih  di  zaman modern seperti  ini,  tantangan hidup akan semakin berat. Manusia dituntut untuk mampu  bertahan  hidup  ditengah-tengah  krisis  ekonomi,  moral  maupun pendidikan.  Dalam  menjalani  kehidupan  seseorang  tidaklah  luput  dari  suatu masalah. Setiap  individu memiliki masalah yang berbeda-beda begitu pula cara penyelesaiannya. Sebagian  individu mampu menyelesaikan masalahnya  dengan baik  sementara  beberapa  dari  individu  tersebut  terkadang  tidak  mampu  untuk menyelesaikan  masalah  yang  sedang  dihadapinya.  Ketidakmampuan menyelesaikan masalah menyebabkan  timbulnya  distres. Distres  tersebut  dapat menimbulkan emosi negatif atau afek negatif. Misalnya sedih, kecewa, putus asa, depresi, tidak berdaya, frustasi, marah, dendam dan emosi-emosi negatif lainnya.
Emosi  berkaitan  dengan  perasaan  yang  dialami  oleh  seseorang.  Emosi muncul  dari  dalam  diri  seseorang  yang  sering  diungkapkan dengan  berbagai ekspresi  seperti  sedih,  gembira,  kecewa,  bersemangat, marah,  benci,  dan  cinta. Emosi  yang  diberikan  kepada  perasaan  tertentu  mempengaruhi  pola  pikir mengenai  perasaan  itu  dan  cara  bertindak.  Hal  ini  disebabkan  karena  emosi merupakan  faktor  dominan  yang mempengaruhi  perilaku  seseorang. Kesadaran dan  pengetahuan  tentang  emosi  memungkinkan  setiap  individu  untuk  mampu membangun hubungan yang baik untuk bersosialisasi dengan lingkungan.
Banyak  cara  untuk  seseorang  menyalurkan  emosinya.  Penyaluran  emosi bisa  dilakukan  dengan  cara  positif  bisa  juga  dengaan  cara  negatif.  Contoh penyaluran emosi dengan cara positif misalnya melakukan aktivitas yang disukai sepeti  olah  raga,  nonton  film,  pergi  jalan-jalan  dengan  teman, membaca  buku atau kegiatan positif  lainnya. Berbeda dengan  sebagian  individu memilih untuk menyalurkan  dengan  cara  negatif  misalnya  mengkonsumsi  narkoba,  minum-minuman  beralkohol  atau  dengan  cara menyakiti  dirinya  (self  injury). Menurut Gratz dkk. (dalam Hasking dkk, 2002: 5) self injury berfungsi untuk mengurangi emosi negatif dan stress.
Ada  orang  yang  masih  dapat  mengontrol  dirinya  sehingga  emosi  yang dialami  tidak  tercetus  keluar  dengan  perubahan  atau  tanda-tanda  kejasmanian. Hal  ini berkaitan dengan pendapat  yang dikemukakan oleh Ekman dan Friesen yang dikenal dengan display rules. Menurut Ekman dan Friesen (dalam Walgito, 2002: 161) adanya tiga rules, yaitu masking, modulation dan simulation.
Masking  adalah  keadaan  seseorang  yang  dapat  menyembunyikan  atau dapat  menutupi  emosi  yang  dialaminya.  Misalnya  orang  yang  sangat  sedih kerena kehilangan anggota keluarganya. Kesedihan  tersebut dapat diredam  atau dapat  ditutupi,  dan  tidak  adanya  gejala  kejasmanian  yang  tampaknya menyebabkan  rasa  sedih  tersebut. Pada modulation orang  tidak dapat meredam secara  tuntas mengenai  gejala  kejasmaniannya  tetapi  hanya  dapat mengurangi saja.  Jika misalnya karena  sedih  ia menangis  tetapi  tangisannya  tidak mencuat-cuat. Pada  simulation orang  tidak mengalami  suatu emosi,  tetapi  ia  seolah-olah mengalami  emosi  dengan  menampakkan  gejala-gejala  kejasmanian.  Seorang  pelaku  self  injury  mempunyai  masking  yang  cukup  bagus  karena  mereka cenderung  mempunyai  kepribadian  yang  introvert.  Mereka  mampu  menutupiemosi negatif dari orang  lain dengan cara menyalurkannya kepada perilaku  selfinjury tersebut. Jadi self injury merupakan perilaku yang sifatnya rahasia.
Self  Injury  adalah  suatu  bentuk  perilaku  yang  dilakukan  individu  untuk mengatasi  rasa  sakit  secara  emosional  dengan  cara  melukai  dirinya  sendiri, dilakukan dengan  sengaja  tapi  tidak dengan  tujuan bunuh diri. Self  injury biasa dilakukan  sebagai  bentuk  dari  pelampiasan  atau penyaluran  emosi  yang  terlalu menyakitkan  untuk  diungkapkan  dengan  kata-kata.  Hal  ini  sesuai  dengan pendapat Grantz (dalam Kanan dkk, 2008: 68) perilaku self  injury sering dilihat sebagai  cara  mengelola  emosi  dimana  seseorang  tidak  tahu  bagaimana mengekspresikan perasaan yang terlalu menyakitkan. Jika self injury berlangsung terus-menerus maka akan berubah menjadi percobaan untuk bunuh diri. 
Self  injury  sebagian besar adalah  fenomena  remaja. Ada kesepakatan  luas bahwa usia rata-rata onset adalah 14-16  tahun, tetapi benar juga bahwa  individu dapat memulai perilaku  self  injuury di masa kecil dan masa dewasa  (Whitlock, 2009: 2). Sedangkan menurut Favazza & Conterio (dalam Klonsky dan Jennifer, 2007: 1046) usia onset biasanya adalah sekitar usia 13 atau 14 tahun. Setidaknya dua  studi perguruan  tinggi menunjukkan bahwa  sekitar seperempat dari mereka yang melaporkan self injury mulai di tahun-tahun kuliah (Whitlock, 2009: 2).
Mahasiswa  terkait  dalam  pemecahan  masalah  dinilai  mampu  membuat rancangan  pemecahan masalah  dengan  benar,  dapat menjawab masalah  dengan benar  berdasarkan  langkah-langkah  pemecahan  masalah  serta  dapat mengevaluasi  argumen  yang  relevan  dalam  memecahkan  masalah.  Setidaknya mahasiswa  tidak melakukan perilaku self  injury sebagai coping dalam hidupnya karena mahasiswa dinilai mampu berpikir dengan baik dalam menghadapi suatu permasalahan namun kemampuan-kemampuan ini tidak dimiliki oleh mahasiswa sebagai  subjek  penelitian.  Subjek  cenderung  tidak  mampu  dalam  menghadapi masalahnya  dengan  baik  dan  memilih  melakukan  coping  maladaptif  yaitu perilaku self injury.
Self  injury  dianggap  sangatlah  membantu  bagi  para  pelakunya  seperti halnya  pada  subjek  yang  akan  diteliti.  Hasil  wawancara  awal  subjek mengemukakan  bahwa  self  injury  dapat  membantu  mengkomunikasikan  apa yang tidak dapat dikatakan secara verbal dan untuk mengekspresikan kemarahan pada orang lain dengan mengarahkannya pada tubuh sendiri. Penelitian Zlotnick, dkk  (1997)  self  injury  pada  populasi  umum  dan  klinis  telah melaporkan  kuat asosiasi dengan indikator disregulasi emosi seperti keputus-asaan dan kemarahan (dalam Hasking dkk, 2002: 5).
DSM-V menjelaskan  bahwa  seseorang  dikatakan  pelaku  self  injury  jika:  (1)  Seseorang  telah  terlibat  self  injury  selama  dua  belas  bulan  terakhir, setidaknya  dilakukan  pada  lima  hari  yang  berbeda  (2)  Self  injury  bukan merupakan  hal  yang  sepele  (misalnya  menggigit  kuku),  dan  tidak  merupakan bagian dari sebuah praktek yang diterima secara sosial (misalnya menindik atau tato). 
Perilaku  self  injury  merupakan  suatu  hal  yang  dirahasiakan  bagi  para pelakunya.  Subjek  tidak  ingin  orang  lain  mengetahui  bahwa  dirinya  seorang pelaku  self  injury  dengan  alasan  rasa malu  dan  takut  atas  anggapan  orang  lain yang menilai dirinya bodoh serta takut orang-orang disekitarnya akan menjaughi dirinya.  Meskipun  Self  injury  merupakan  sesuatu  hal  yang  sangat  rahasia dikalangan  pelakunya,  namun  self  injury  sangatlah menarik  untuk  dibahas  dan diteliti.  Bagaimana  latar  belakang  keluarga  dan  lingkungan  sosial  subjek? Bagaimana  dinamika  perasaan  subjek  ketika  sebelum,  saat  dan  sesudah melakukan  self  injury? Bentuk  perilaku  self  injury  apa  yang  dilakukan  subjek? Kemudian,  apa  penyebab  dan  dampak  dari  perilaku  self  injury  tersebut?  Serta bagaimana  gambaran  karakteristik  pada  diri  subjek  yang  berhubungan  dengan perilaku  self  injury?  Pertanyaan-pertanyaan  tersebut  merupakan  sesuatu  yang ingin  dicari  penjelasannya  yang  merupakan  gambaran  secara  keseluruhan perilaku self injury pada mahasiswa.

B.     Identifikasi masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka peneliti dapat mengidentifikasikan masalah sebagai berikut:
1.      self injury masih di anggap hal biasa atau sebagai hal yang umum dilakukan. Sebenarnya perilaku self injury termasuk perilaku maladaptif.
2.      Self injury biasanya di lakukan oleh orang-orang berkepribadian introvert dan dengan self injury inilah mereka melampiaskan emosinya yang tidak bisa tersampaikan secara verbal, perilaku self injuri biasanya di tampakkan melalui tindakan.
3.      Latar belakang keluarga dan lingkungan sosial menjadi penyebab perilaku self-injury

C.    Pembatasan Masalah
Studi kasus ini perlu di batasi  hal-hal apa yang akan di teliti, agar tidak mengkaburkan fokus peneliti.  Dalam studi kasus ini akan meneliti gambaran mengenai self injury pada mahasiswa, maka dapat ditentukan penegasan istilah sebagai berikut:
a.       Self injury adalah perilaku melukai diri sendiri secara sengaja dengan tujuan mengatasi masalah emosi tanpa maksud bunuh diri.
b.      Mahasiswa adalah seorang pria atau wanita yang sedang menempuh pendidikan perguruan tinggi.

D.    Rumusan Masalah
Penjelasan latar belakang masalah diatas memunculkan rumusan fokus kajian yang akan diteliti, yaitu:
1.      Bagaimana latar belakang keluarga dan lingkungan sosial pelaku self injury?
2.      Bentuk self injury apa yang dilakukan?
3.      Apa penyebab dan dampak perilaku self injury?
4.      Bagaimana perasaan sebelum dan sesudah melakukan self injury




E.     Tujuan penelitian
Penelitian ini yang ingin dicapai oleh peneliti adalah
1)      bertujuan untuk mengetahui perilaku self injury pada mahasiswa
2)      Mengetahui bagaimana dinamika perasaan ketika sebelum, saat dan sesudah melakukan self injury.
3)      Mengetahui bentuk-bentuk perilaku self injury yang dilakukan.
4)      Mengetahui apa penyebab dan dampak dari perilaku self injury.
5)      Mengetahui bagaimana gambaran karakteristik kepribadian yang berhubungan dengan perilaku self injury?

F.     Manfaat penelitian
1.      Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan oleh peneliti lain serta menambah pengetahuan bagi peneliti maupun masyarakat luas tentang perilaku self injury pada mahasiswa
2.      Manfaat praktis
Manfaat praktis yang dihasilkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti yaitu menjelaskan tentang gambaran  self injury

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.    Pengertian Self-Injury (Penderita diri non bunuh diri)
Keputusasaan telah ditemukan terkait dengan bunuh diri, meskipun beberapa penelitian menemukan bahwa faktor ini dikacaukan oleh adanya depresi. Faktor psikososial seperti psikopatologi keluarga , perselisihan keluarga , pelecehan , dan kehilangan orang tua karena kematian sampai dengan perceraian. Masalah hubungan sebaya , termasuk diintimidasi , telah ditemukan terkait dengan usaha bunuh diri tapi tidak dengan bunuh diri. Self-injury, yaitu melukai diri sendiri dalam bentuk pemotongan anggota tubuh. Individu melukai diri untuk banyak alasan, seperti untuk meringankan kesedihan, untuk menghukum diri, dan untuk mendapatkan perhatian.
Sebagai orang sengaja mencederai dirinya tanpa berusaha mengakhiri hidupnya. Bentuk paling sering perilaku mencederai-diri non-bunuh diri melibatkan mengiris, membakar, atau menoreh kulit, biasanya di tempat dimana luka dan parut yang diakibatkannya dapat disembunyikan dengan mudah dari orang lain (Levenkron, 2006). Pencederaan- diri non- bunuh diri harus dibedakan dari tren fashion, seperti menindik dan menato. Orang membuat tato dan menindik berbagai bagian tubuhnya dengan berbagai ornamen dan perhiasan karena efek penampilannya dianggap bergaya atau “berbeda”. Kegiatan ini dilakukan terlepas dari kesakitan yang harus dialami orang yangbersamngkutan. Sebaliknya, orang yang terlibat pencederaan-diri

 non-bunuh diri melakukannya karena rasa sakit itu memiliki tujuan yang berguna bagi mereka terlepas dari dampaknya dari penampilan mereka.
Masalah ini dapat memiliki banyak bentuk dan dikaitkan dengan beragam jenis gangguan mental. Menyakiti-diri secara sengaja dimasukkan dalam DSM-IV-TR sebagai salah satu simtom gangguan kepribadian ambang, tetapi juga terjadi pada para penderita gangguan lain, khususnya gangguan penggunaan substansi, gangguan makan depresi, dan gangguan stress pasca trauma. Kira-kira 4% dalam populasi secara umum melaporkan bahwa mereka pernah terlibat perilaku pendederaan-diri non- bunuh diri dan banyak diantara mereka yang tidak memnuhi syarat untuk diagnosis gangguan tertentu (klonsky, oltmanns & turkheimer, 2003; nock & kessler, 2006). Kadang-kadang pencederaan diri yang disengaja itu sendirilah masalah primernya. Mengapa sebagian orang sengaja menyakiti dirinya, seringkali merusak penampilan tubuhnya sendiri? Beberapa penjelasan yang berbeda telah dilaporkan (klonesky,2007). Bagi sebagian orang, mengiris adalah untuk menghukum diri dan refleksi dari frustasi dan amarah.
Pada kasus lain, orang menggunakan rasa sakit yang dibuatnya sebagai upaya memerangi periode disosiasi dan perasaan hampa berkepanjangan yang menyertai tidak adanya anggota keluarga atu teman. Akan tetapi, mekanisme yang paling sering dilaporkan menunjukkan bahwa pencederaan- diri menjadi suatu cara yang maladaptif untuk meregulasi keadaan emosional negatif intens. Episode perilaku pencederaan diri biasanya didahului oleh perasaan cemas, amarah, frustasi, atau sedih. Emosi ini berkurang dengan cepat begitu pengirisan dimulai, dan orang itu mengalami kelegaan. Fase final sekuensi itu melibatkan perasaan malu atau merasa bersalah ketika episodenya selesai dan orang itu merenungkan apa yang telah dilakukannya.
Seorang pelaku self injury mempunyai masking yang cukup bagus karena mereka cenderung mempunyai kepribadian yang introvert. Mereka mampu menutupi emosi negatif dari orang lain dengan cara menyalurkannya kepada perilaku self injury tersebut. Jadi self injury merupakan perilaku yang sifatnya rahasia.
Menurut Mazelis (2008: 1) self injury adalah sengaja melukai tubuh sendiri sebagai cara mengatasi masalah emosi dan stres. Orang-orang melukai diri tidak untuk menciptakan rasa sakit fisik, tapi untuk menenangkan rasa sakit emosional yang mendalam. Perilaku self-injuri dapat dilihat sebagai kelas perilaku, perilaku yang sering berulang-ulang dan berirama yang mengakibatkan bahaya fisik untuk individu ( biaya & amp; matson, 1992, hlm 4 ). Terlebih, perilaku tersebut harus terjadi tanpa tindakan yang jelas dan maksud membahayakan diri. Hal ini penting untuk membedakan antara perilaku seperti bunuh diri, yang dikaitkan dengan keinginan disengaja untuk alasan merugikan diri sendiri, dan self injury ditemukan dalam orang  yang cacat perkembangannya, yang mungkin terjadi karena hubungan biologis atau dari faktor lingkungan. Secara sengaja seperti membahayakan diri perilaku yang juga sering dimaksud sebagai mutilasi diri, self-destructive, atau perilaku masokis ( biaya & amp; matson, 1992 ).
Self Injury adalah suatu bentuk perilaku yang dilakukan individu untuk mengatasi rasa sakit secara emosional dengan cara melukai dirinya sendiri, dilakukan dengan sengaja tapi tidak dengan tujuan bunuh diri. Self injury biasa dilakukan sebagai bentuk dari pelampiasan atau penyaluran emosi yang terlalu menyakitkan untuk diungkapkan dengan kata-kata. Hal ini sesuai dengan pendapat Grantz (dalam Kanan dkk, 2008: 68) perilaku self injury sering dilihat sebagai cara mengelola emosi dimana seseorang tidak tahu bagaimana mengekspresikan perasaan yang terlalu menyakitkan. Jika self injury berlangsung terus-menerus maka akan berubah menjadi percobaan untuk bunuh diri.

B.       Jenis-Jenis Self Injury
Self injury terbagi menjadi beberapa jenis, antara lain sebagai berikut: (Caperton, 2004: 5)
1)      Major self-mutilatin
Major self-mutilation didefinisikan sebagai melakukan kerusakan permanen pada organ utama, seperti memotong kaki atau mencukil mata. Self injury jenis ini biasanya dilakukan oleh individu yang mengalami tahap psikosis.
2)      Stereotipic self-injury
Stereotypic self injury tidak begitu parah tapi jauh lebih berulang. Jenis self injury ini biasanya melibatkan perilaku berulang seperti membenturkan kepala ke lantai secara berulang kali. Individu yang terlibat dalam jenis self injury ini sering menderita gangguan saraf seperti Autisme atau Sindrom Tourette.
3) Superficial self-mutilatin
Superficial self-mutilation dijelaskan oleh sebagai jenis yang paling umum dari self injury. Contoh perilaku superficial self-mutilation adalah menarik rambut sendiri dengan sangat kuat, menyayat kulit dengan benda tajam, membakar bagian tubuh, membanting tubuhnya sendiri, dan membenturkan kepala. Ada tiga sub-tipe dari jenis self-injury. Ketiga sub-tipe episodik, repetitive dan kompulsif. Kompulsif self injury serupa dengan gangguan psikologis seperti Obsesif-Compulsive Disorder. Sub tipe ini lebih dalam bawah sadar dibandingkan dengan dua sub tipe lainnya dan tidak dilakukan sebagai suatu keharusan. Episodik dan repetitive self injury bervariasi dalam cara melakukannya. Keduanya terjadi di episode mana self injury akan mewujudkan dirinya lebih baik pada saat waktu tertentu, namun perbedaannya adalah bahwa individu-individu yang digambarkan sebagai berpartisipasi dalam repetitive superficial self-mutilation melihat fakta bahwa mereka melukai diri sendiri sebagai bagian penting dari identitas mereka dan bahkan mengembangkan siapa mereka sebagai pelaku self injury.

C.    Bentuk-bentuk Self Injury
Self Injury dalam istilah lain dikenal sebagai Self Harm, bentuk paling umum dari self injury adalah membuat irisan dangkal pada lengan atau tungkai. Menurut Whitlock, dkk. (2006: 117) bentuk-bentuk self injury antara lain:
a. Menggores, menggaruk atau mencubit yang dapat menimbulkan tanda pada kulit dan menyebabkan kulit berdarah
b. Membanting atau memukulkan objek kediri sendiri sehingga menimbulkan luka memar atau berdarah
c. Mencabik-cabik kulit
d. Mengukir kata-kata atau bentuk-bentuk tertentu di permukaan kulit
e. Menyuluti atau membakar kulit dengan rokok, api ataupun air panas
f. Menarik rambut secara paksa dengan jumlah yang banyak.

Menurut Kanan dan Finger (2005: 3) bentuk-bentuk self injury yang bisa dilakukan yaitu:
a. Menggores bagian tubuh tertentu
b. Membakar bagian tubuh tertentu dengan rokok
c. Memukul diri sendiri, memukul tembok atau benda keras yang lain
d. Membuat tubuh menjadi luka memar atau patah tulang
e. Membenturkan kepala
f. Menarik rambut
g. Menghantamkan tubuh terhadap suatu objek
h. Mencubit

D.    Karakteristik Pelaku Self Injury
Menurut Knigge (1999: 2) karakteristik umum pelaku  self injury adalah sebagai berikut:
1)      Sangat tidak menyukai diri mereka sendiri
2)      Sangat peka terhadap penolakan
3)      Terus-menerus marah pada diri mereka sendiri
4)      Cenderung untuk menekan kemarahan
5)      Memiliki tingkat agresif yang tinggi, yang mereka setuju sangat kuat dan sering menekan atau mengarahkan pada diri
6)      Kurangnya impuls kontrol
7)      Cenderung bertindak sesuai dengan suasana hati mereka saat itu
8)      Cenderung tidak merencanakan masa depan
9)      Mengalami depresi dan self destructive
10)  Tidak henti-hentinya menderita kecemasan
11)  Cenderung ke arah cepat marah
12)  Tidak merasa diri mereka mampu mengatasi masalah, tidak memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah.
Pelaku self injury mempunyai karakteristik umum yaitu: sangat tidak menyukai diri mereka sendiri, sangat peka terhadap penolakan, terus-menerus marah pada diri mereka sendiri, cenderung untuk menekan kemarahan, memiliki tingkat agresif yang tinggi, umumnya depresi atau stress berat, mengidap kecemasan kronis.

E.     Faktor Penyebab Self Injury
Menurut Martinson (1999: 1) faktor penyebab dilakukannya  self injury antara lain:
a. Faktor keluarga
Faktor-faktor yang berasal dari luar diri individu yaitu yang berasal dari lingkungan keluarga, seperti tumbuh didalam keluarga yang kacau, kurang kasih, pernah mengalami kekerasan, adanya komunikasi yang kurang baik dan tidak dianggap keberadaannya atau diremehkan. Kurangnya peran model pada masa kecil dalam mengekspresikan emosi serta kurangnya komunikasi antar anggota keluarga.
b.  Faktor psikologis
Pelaku self injury merasakan adanya kekuatan emosi yang tidak nyaman dan tidak mampu untuk mengatasinya.
c. Faktor kepribadian
Dalam sebuah penelitian (Cloninger & Svrakic, 1997) faktor penyebab perilaku self injury adalah sifat temperament. Tipe kepribadian introvert memiliki kecenderungan self injury lebih besar dibandingkan tipe kepribadian ekstrovert saat sedang menghadapi masalah. Pola perilaku self injury sangat bergantung pada mood seseorang. Selain itu adanya harga diri yang rendah, pola pemikiran yang kaku dan sulitnya mengkomunikasikan perasaan menjadi faktor penunjang bagi seseorang untuk melakukan self injury.
d. Faktor Gender
Hasil dari penelitian (Sarah Elizabeth Gollust, BA; Daniel Eisenberg, PhD; Ezra Golberstein, BA) dari 5.021 siswa yang direkrut, 2.843 menyelesaikan survei, menghasilkan tingkat tanggapan 56,6%. mahasiswa pascasarjana dan perempuan lebih mungkin untuk melakukan self-injury karena depresi berat gangguan panik.

 BAB III
PENGUMPULAN DATA
A.       Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang di gunakan adalah wawancara open-ended dan observasi langsung. Dalam penelitian self injury ini, peneliti menggunakan tekhnik wawancara open-ended karena peneliti memerlukan data terkait kejadian awal perilaku self injury dan data yang lain terkait self injury. Dan observasi langsung karena peneliti memerlukan data terkait tingkah laku dan proses self injury berlangsung.
1.    Wawancara
a)    Pengertian wawancara
Wawancara merupakan tehnik pengumpulan data dengan cara berkomunikasi, bertatap muka yang disengaja, terencana, dan sistemastis antara pewawancara (interviewer) dengan individu yang diwawancarai (interviewee).
Proses wawancara pada awalya hanya dapat dilakukan melalui tatap muka, tetapi sejalan dengan perkembangan teknologi komunikais, proses wawancara dapat dilakukan melalui jarak jauh, seperti melalui telepon, atau menggunakan telepon seluler dengan sistem three-G.
Fungsi proses wawancara dalam pelayanan bimbingan dan konseling untuk memahami berbagai potensi, sikap, pikiran, perasaan pengalaman, harapan, dan masalah peserta didik, serta memahami

potensi dan kondsi lingkungannya baik lingkungan pendidikan, masyarakat, maupun lingkungan kerjanya secara mendalam.
Manfaat asesment wawancara dalam pelayanan bimbingan dan konseling mampu memperoleh informasi secara mendalam, sekaligus dapat menciptakan rapport yang baik meningkatkan intensits hubungan antara konselor dan peserta didik/klien, mendorong pengembangan kemampuan peserta didik untuk membuka diri, meningkatkan pemahaman antara konselor-peserta didik, mengembangkan kemampuan konselor dalam menerima peserta didik, dan mengembangkan kepercayaan pada relasi konselor-peserta didik.
b)        Kelebihan dan kekurangan wawancara
1.      Kelebihan wawancara
a)      Pertanyaan-pertanyaan yang kurang jelas dapat diperjelas kembali oleh wawancara sehingga individu yang diwawancarai lebih memahami apa maksud pertanyaan yang diajukan.
b)      Bahasa yang digunakan wawancara dapat disesuaikan dengan bahasa yang digunakan atau kemampuan interviewee menangkap pertanyaan.
c)      Melalui komunikasi langsung tatap muka, diharapkan menimbulkan suasana keakraban yang baik, terbentuk rapport, sehingga akan mengoptimalkan hasil wawancara.

2.      Kekurangan wawancara
a)      Wawancara membutuhkan waktu yang lama dan lebih banyak tenaga.
b)      Membutuhkan keahlian yang memadahi untuk melakukan wawancara, sehingga memerlukan pendidikan dan latihan khusus dalam waktu tertentu untuk menjadi pewawancara yang baik.
c)      Hasil wawancara akan menjadi bias bila terbentuk prasangka stereotip, sehingga hasilnya menjadi tidak objektif.
c.       Jenis-jenis wawancara
Metode wawancara dikelompokkan menjadi 4 jenis, yang dibedakan menurut responden, prosedur, situasi, dan segi perencanaannya yaitu sebagi berikut:
1.      Wawancara menurut responden
Bila di tinjau dari sisi responden, wawancara di bedakan atas wawancara langsung dan wawancara tidak langsung. Wawancara langsung merupakan wawancara yang dilakukan kepada indivudu yang ingin  kita kumpulkan datanya. Sedangkan wawancara tidak langsung dilakukan untuk mengumpulkan informasi tentang seseorang individu melalui individu lain yang memiliki informasi yang dibutuhkan.
2.      Wawancara menurut prosedur
Di bedakan menjadi dua segi yaitu terstruktur dan tidak terstruktur. Wawancar terstruktur, pertanyaan di susun dalam suatu daftar terinci dan dijadikan  pegangan oleh pewawancara utnuk melakukan wawancara. Sedangkan wawancara tidak terstruktur pertanyaannya tidak di susun rinci, tetapi hanya pokok-pokok pertanyaannya saja, sehingga memberi kesempatan pewawancara mengadakan variasi, selain itu wawancara tidak terstruktur bersifat lebih fleksibel.
3.      Wawancara menurut situasi
Wawancara dapat dilakukan pada berbagai situasi, berdasarkan situasi saat proses berlangsung wawancara dapat dibedakan menjadi wawancara formal dan informal. Wawancara formal dilakukan pada ruang yang telah disiapkan, pola hubungan resmi/formal. Sedangkan wawancara informal dilakukan tidak di tempat khusus, pola hubungan santai/tidak resmi.
4.      Wawancara dilihat dar segi perencanaan
Berdasarkan perencanaan wawancara dibedakan menjadi wawancara terencan dan insidental. Wawancara terencana dilakukan dengan waktu dan tempat yang telah di rencanakan, sumber data juga telah dihubungi dan telah di capai kesepakatan bersama. Sementara, wawancara insidental dilakukan secara kebetulan ada kesempatan baik, serta belum ditetapkan waktu dan tempatnya.
d)     Langkah-langkah penyusunan pedoman wawancara
a.       Mentapkan tujuan wawancara
b.      Menetapkan bentuk pertanyaan sesuai tujuan
c.       Merumuskan butir pertanyaan dengan bahasayangdi pahami
d.      Pertanyaan harus fokus, sehingga interviuwee akan menjawab sesuai dengan yang dibutuhkan
e.       Rumusan pertanyaan jangan memiliki makna ganda
f.       Rumusan pertanyaan harys netral, tidak mengandung stereotip, tidak mengandung SARA, sugestif, atau menghakimi interviuwee
g.      Bila bntuk wawancara terstruktur butir pertanyaan di buat rinci sedangkan bila betuk wawancara tidak terstruktur cukup dituliskan pokok-pokok pertanyaan saja.
2.      Observasi
a)      Pengertian Observasi
Secara garis besar terdapat dua rumusan tentang observasi yaitu pengertian secara sempit dan luas. Dalam arti sempit, observasi berarti pengamatan secara langsung terdapat gejala yang diteliti, dalam arti luas observasi meliputi pengamatan yang dilakukan secra langsung maupun tidak langsung terdapat objek yang sedang diteliti.
Menurut Nurkancana (1993;35) menyatakan bahwa observasi adalah suatu pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan langsung terdapat suatu objek dalam suatu periode tertentu dan mengadakan pencatatan secara sistematis tentang hal-hal tertentu yang diamati.
Menurut Stamboel (1986:173) menyatakan bahwa yang dimaksudkan metode observasi ialah suatu pengamatan dalam jangka waktu tertentu dan dalam situasi sosial yang bersifat ”bebas” ataupun bermaksud dimana si subjek tidak merasa diamati sehingga akan bertingkah laku dalam keadaan yang wajar.
Sementara itu, Surya dan Natawidjaja menyatakan observasi sebagai teknik pengumpul data adalah pengamatan yang memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
a.       Dilakukan sesuai tujuan yang dirumuskan terlebih dahulu
b.      Dilakukan secara sistematis
c.       Hasilnya dicatat dan diolah sesuai tujuan
d.      Dapat diperiksa validitas, realibitas, dan ketelitian
e.       Bersifat kualitatif
Jadi dapat disimpulkan bahwa, observasi adalah sebagai alat pengumpul data kegiatan pengamatan (secara indrawi) yang direncanakan, sistematis, dan hasilnya dicatat serta dimaknai (di interprestasikan) dalam rangka memperoleh pemahaman subjek yang diamati.
b)      Bentuk-bentuk Observasi
Menurut Surya dan Natawidjaja (Rahardjo & Gunanto: 47) membedakan observasi menjadi tiga, yaitu:
1)      Observasi partisipatif, ialah observasi dimana orang yang mengobservasi (pengamat, observer) benar-benar turut serta mengambil bagian dalam kegiatan yang dilakukan oleh orang atau objek yang diamati (observee, observi) misalnya guru mengamati perilaku siwa di kelas sambil mengajar, sehingga guru langsung dalam kegiatan dalam pembelajaran yang dilakukan guru dan siswa.
2)      Observasi sistematis, atau disebut juga observasi terstruktur. Ialah observasi dimana sebelumnya telah diatur struktur yang berisikan faktor-faktor yang telah diatur berdasarkan kategori yang hendak di observasi. Pada observasi sistematis ini, observer sebelumnya menyusun kisi-kisi yang memuat faktor-faktor yang akan di observasi beserta kategori masalahnya. Berdasarkan kisi-kisi tersebut observer menjabarkan dalam daftar cek dan atau skala penilaian.
3)      Observasi eksperimental, ialah observasi yang dilakukan secara non partisipatif dan sistematis, untuk mengetahui perubahan-perubahan atau gejala-gejala sebagai akibat dari situasi yang sengaja diakdakan. Misalnya untuk mengetahui perkembangan klien setelah dilakukan treatment dalam konseling individual (perorangan); konselor mengobservasi perilaku siswa tersebut yang mengalami kesulitan untuk mengemukakan pendapat dalam diskusi. 
c)      Kelebihan dan Kekurangan Observasi
Menurut Gantina (2011:58) terdapar beberapa kelebihan dan kekurangan dalam observasi, yaitu:
1.      Kelebihan pengamatan
a)      Memberikan informasi yang tidak mungkin didapatkan melalui teknik lainnya
b)      Memberi tambahan informasi yang sudah didapat teknik lain
c)      Dapat menjaring tingkah laku nyata bila saat observasi tidak diketahui
d)     Pengamatan bersifat selektif
e)      Pengamatan mendorong perkembangan subjek pengamatan
2.      Kekurangan
a)      Pengamatan tidak dapat dilakukan terhadap beberapa situasi atau beberapa peserta didik secara sekaligus
b)      Hasil pengamatan dari suatu kejadian tidak dapat diulang pada waktu lain
c)      Untuk mendapatkan gambaran menyeluruh dan ketepatan hasil, pengamatan perlu dilakukan beberapa kali sehingga memerlukan waktu yang panjang
d)     Penafsiran hasil observasi sering kali bersifat subjektif, sehingga diperlukan keterlibatan beberapa orang pengamat  
e)      Sifat pengamat, jarak waktu yang panjang antara satu situasi dengan situasi yang diamati, dan objektifitas pencatatan akan sangat mempengaruhi validitas hasil pengamatan
B.     Tempat dan waktu
NO
TEMPAT
WAKTU
1
Wawancara pertama dilakukan di cafe
Jumat, 19 mei 2015 pukul 20.00-21.00
2
Wawancara dilakukan di kos
Minggu, 26 mei 2015 pukul 20.00 – 22.00
3
Wawancara di lakukan di kos
Kamis, 29 mei 2015 pukul 18.30-22.30


C.     Biodata klien
Nama                           : Sasa (bukan nama sebenarnya)
Jenis kelamin               : Perempuan
Tempat, tanggal lahir  : Pati, 21 Juli 1989
Alamat sekarang          : Blunyahrejo, Yogyakarta
Status                          : Mahasiswa
Pendidikan terakhir     : SMA

 BAB IV
A.    Data Permasalahan
Studi kasus yang dilakukan adalah meneliti mengenai perilaku self injury. Sasa (bukan nama sebenarnya) adalah anak ke-3 dari 4 bersaudara, kedua kakaknya perempuan dan adiknya laki-laki. Orangtuanya adalah bekerja di warung makan miliknya.
Perilaku ini di alami Sasa semenjak kelas XII atau kelas 3 SMA, awalnya karena Sasa merasa sakit hati terhadap pacarnya yang terlalu mengekang. Karena tekanan tersebut dan keseringan melihat film action, maka Sasa mulai meniru perilaku seperti menyayat-nyayat lengannya karena menurutnya menangis saja tidak cukup untuk melampiaskan kekesalan dan emosi negatif tersebut. Sasa selalu melakukan perilaku ini setiap kali bertengkar dengan pacarnya, menurutnya dengan melakukan ini perasannya lega dan tenang. Ternyata permasalahan terbesarnya adalah karena pihak orang tua keduanya tidak setuju dengan hubungan mereka, hingga akhirnya Sasa benar-benar stess berat dan minum obat tanpa memperkirakan dosis, waktu itu yang ada di pikirannya hanya ingin mengakhiri hidupnya, beruntunglah karena Tuhan masih memberi kesempatan, Sasa di rawat di rumah sakit karena dosis obat yang di minumnya berlebihan.

Setelah lulus SMA, Sasa merantau ke Yogyakarta untuk bekerja. Mereka (Sasa dan pacarnya) berhubungan jarak jauh, perilaku self injury ini masih saja terjadi. Setahun kemudian, Sasa memutuskan untuk kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Ketika memasuki semester 4, Sasa putus dengan pacarnya dan pada saat itu juga Sasa cuti selama 1 tahun dengan alasan sering sakit-sakitan. Perilaku self injuri ini masih saja di lakukan dan menjadi suatu pelarian ketika mengalami emosi-emosi negatif, sampai-sampai badannya kurus kering apalagi memang postur tubuh Sasa ini tinggi hingga sangat terlihat. Setelah setahun cuti, Sasa kembali kuliah. Bersamaan dengan berakhirnya masa cuti, Sasa juga telah move on dari mantannya dan sudah mempunyai pacar baru, walaupun pacarnya berondong, tetapi mereka mampu menjalaninya dengan baik. ternyata tidak semua hubungan berjalan dengan baik, di tahun pertama hubungan Sasa dengan pacarnya tidak ada hambatan yang berarti, namun mamasuki tahun kedua ada masalah yang cukup serius yaitu orang tua mereka tidak setuju. Di masa-masa seperti ini, perilaku self injury Sasa timbul kembali, ia kembali melakukan menyayat tangan dengan pisau, kaca, silet, dan gunting. Sasa juga membenturkan kepala ke tembok serta meninju kaca, tetapi ia melakukan ini ketika tidak ada orang yang melihat atau ketika ia sendiri. Sebenarnya Sasa agak terganggu dengan perilaku tersebut, tetapi ia belum menemukan cara untuk mengurangi emosi negatif tersebut, ketika sedang merasakan emosi negatif yang di pikirkan hanya melukai diri sendiri.
Di asrama tempat tinggal Sasa kebetulan cukup sepi, sehingga sangat mendukung untuk melakukan self injuri. Lingkungan asrama ini cukup cuek. Setelah melakukan wawancara dengan salah satu teman asrama Sasa, Ed (bukan nama sebenarnya) juga pernah mengalami hal yang sama yaitu self injury. Mungkin karena Ed pernah mengalami perilaku self injury, Ed menyadari bahwa Sasa juga pelaku self injury. Sehingga Ed berusaha mendampingi Sasa. Tetapi selalu ada saja cara Sasa melakukan self injury.
B.     Layanan Bimbingan dan Konseling
Berdasarkan kasus self injury yang diderita Sasa (bukan nama sebenarnya), tentu hal ini sangat mengganggu keberlangsungan hidup yang ketergantungan, yaitu merasa puas jika melampiaskan emosi negatifnya pada perilaku sef injury. Oleh karena itu layanan bimbingan dan konseling sangat diperlukan untuk membantu mengurangi atau menyembuhkan gangguan perilaku self injury yang diderita Sasa.
Layanan bimbingan dan konseling yang tepat menurut peneliti adalah dengan memberikan layanan konseling individual, yaitu proses pemberian bantuan kepada konseli secara individual dengan tatap muka atau langsung secara berkesinambungan (continue) untuk membantu klien menyelesaikan masalahnya secara mandiri.
Dalam kasus ini, peneliti menggunakan pendekatan Behavioral. Menurut pandangan behavioral, manusia pada hakikatnya adalah pasif dan mekanistis, manusia di anggap sebagai sesuatu yang dapat di bentuk dan diprogram sesuai dengan keinginan yang membentuknya. Manusia memulai kehidupannya dengan memberikan reaksi terhadap lingkungannya, dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian. Perilaku seseorang ditentukn oleh macam dan banyaknya penguatan yang diterima dalam situasi hidupnya. Jadi kesimpulannya teori behavior ini beranggapan bahwa perilaku manusia adalah efek dari lingkungan, pengaruh yang lebih kuat itulah yang akan membentuk diri individu.
            Dalam kasus Sasa (bukan nama sebenarnya), Ia belajar dari lingkungan dan pola asuh yang keras dari orang tuanya. Hukuman yang di terima Sasa berupa fisik dan karena hobinya adalah menonton film action serta belajar dari sosial media tentang perilaku self injury ini membuat Sasa akhirnya terbiasa melakukan self injury bahkan bisa di bilang kecanduan jika emosi negatifnya muncul.
            Mekanisme layanan konseling individual dengan memberi assesment (penilaian fungsional)  untuk mengetahui lebih dalam tentang Sasa yaitu melalui instrumen wawancara. Menentukan goal setting (menetapkan tujuan) yaitu dengan membantu Sasa untuk memandang masalahnya atas dasar tujuan-tujuan yang di inginkan serta kemungkinan hambatan-hambatan situasional tujuan belajar yang dapat di terima dan diukur sehingga tercapai tujuan yang di inginkan. Lebih spesifik, peneliti menggunakan teknik assertive training yaitu teknik membantu konseli dengan mengekspresikan perasaan dan pikiran yang ditekan terhadap orang lain secara lugas tanpa agresif. Peneliti juga menggunakan teknik self manajement yaitu dengan cara merancang teknik/cara untuk mengendalikan dan mengubah perilaku sendiri melalui pantau diri, kenali diri, dan ganjar diri. 

 BAB V
PENUTUP
A.    Kesimpulan
             Self-injury adalah perilaku yang dengan sengaja melukai tubuh sendiri sebagai cara mengatasi masalah emosi dan stres. Orang-orang melukai diri tidak untuk menciptakan rasa sakit fisik, tapi untuk menenangkan rasa sakit emosional yang mendalam. Biasanya dilakukan secara berulang-ulang dam periode yang tidak bisa ditentukan. Self-injury dilakukan apabila pelaku merasa sangat terbebani dengan masalahnya, dalam kasus ini Sasa merasa terbebani yaitu lebih pada masalah asmara dibanding dengan masalah lainnya seperti masalah keluarga, masalah akademik dan sosial, masalah asmara kurang dapat ia atasi. Tetapi perilaku juga di picu oleh oleh pola asuh orang tua yang keras dan otoriter. Merasa terbiasa dengan hukuman fisik dan suka film action, Sasa meniru perilaku self injury. Tak di sangka, perilakunya menjadi kebiasaan pelampiasan emosi negatifnya.
B.     Saran
Diharapkan bagi konselor untuk dapat terus meningkatkan pendidikannya mengenai self-injury, sehingga dapat memberikan pencegahan, dan penyuluhan bagi masyarakat luas. Sebab masalah self-injury masih begitu asing di mata masyarakat awam dengan

tujuan memberikan pengetahuan mengenai perilaku self-injury dengan harapan dapat mencegah dan menanggulangi terjadinya perilaku self-injury.
Bagi konseli (Sasa), tetap lakukan teknik assertive training dan teknik self manajement untuk sedikit demi sedikit mengurangi perilaku tidak menguntungkan ini yang tentunya di bantu olah konselor.
Bagi peneliti selanjutnya, hati-hati dalam menentukan teknik yang di gunakan, karena tidak semua permasalahn self injury mendapat penanganan yang sama. Kesulitan dalam penelitian ini yaitu sulitnya menggali informasi tentang mantan pacar Sasa, karena Sasa sendiri agak tertutup tentang hal ini.

DAFTAR PUSTAKA
Izzaty, Rita Eka dkk. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Yogyakarta: UNY Press
Jonathan Weiss. 2007. Self-Injurious Behaviours in Autism: A Literature Review. Journal of Clinical Psychology 
Kanan, Linda M and Jennifer Finger. 2005. Self Injury: Awareness and Strategies for School Mental Healt Provider.  Artikel. Online at.  www.docstoc.com. [accessed 25/04/2015, 10.24.36 am].
Komalasari, G., Eka Wahyuni & Karsih. 2011. Asesmen Teknik Nontes dalam Perspektif BK Komprehensif. Jakarta: PT Indeks
Latipun, Moeljono N. 2007.  Kesehatan Mental (Konsep dan Penerapan) Edisi Keempat. Malang: UMM Press.
Maidah Destiana. 2013.  Self Injury Pada Mahasiswa (Studi Kasus Pada Mahasiswa Pelaku Self Injury). Skripsi. Fakultas Psikologi. Universitas Negeri Semarang. Diambil tanggal 13 April 2015
Oltmanns, T.,& Robert Emery. 2013. Psikologi Abnormal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rahardjo, Susilo., & Gudnanto. 2013. Pemahaman Individu Teknik Nontes. Jakarta: Kencan

Sarah Elizabeth Gollust, BA; Daniel Eisenberg, PhD; Ezra Golberstein, BA. Prevalence and correlates of Self- Injury Among University Students. Journal of proQuest.com
Semiun, Yustinus. 2006. Kesehatan Mental 1. Yogyakarta: Kanisinus.

Lampiran
Dokumentasi pelaksanaan wawancara



Bukti perilaku self injury




Tidak ada komentar:

Posting Komentar