STUDI KASUS
SELF
INJURY PADA MAHASISWA
Di
susun guna memenuhi tugas mata kuliah Studi Kasus
Dosen
Pengampu : Ariadi Nugraha S.Pd
Kelas
C / VI
Di
susun Oleh :
1. Endah
Kusumawati (12001147)
2. Nofa
Laila Nurfitria (12001162)
3. Lilis
Ernawati (12001163)
PROGRAM
STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
AHMAD DAHLAN
2015
DAFTAR ISI
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang ............................................................................. 1
B.
Identifikasi Masalah.....................................................................
6
C.
Batasan Masalah ........................................................................... 7
D.
Rumusan Masalah ......................................................................... 7
E.
Tujuan Penelitian .......................................................................... 8
F. Manfaat Penelitian
........................................................................ 8
BAB
II KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian
Self-Injury (Penderita diri non bunuh diri) ................. 9
B.
Jenis-Jenis Self Injury ................................................................... 12
C.
Bentuk-bentuk Self Injury ............................................................ 13
D.
Karakteristik Pelaku Self Injury ..................................................... 15
E. Faktor
Penyebab Self Injury ......................................................... 16
BAB
III METODE PENELITIAN
A. Alat Pengumpul Data .................................................................. 18
1.
Wawancara ............................................................................. 18
2.
Observasi ................................................................................ 22
B.
Tempat dan Waktu
Penelitian ...................................................... 26
C. Biodata Klien ............................................................................... 26
BAB
IV PEMBAHASAN
A. Data Permasalahan ...................................................................... 27
B. Layanan Bimbingan dan Konseling ............................................. 29
BAB
V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................. 31
B. Saran ............................................................................................. 31
DAFTAR
PUSTAKA ..................................................................................... 33
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masalah selalu muncul dalam bentuk dan tingkat
kerumitan yang bermacam-macam.
Apabila ada ketidaksesuaian dalam
suatu situasi antara
keadaan yang sebenarnya dengan
tujuan, dan didalam
situasi tersebut mengandung
suatu perintang bagi seseorang
dalam mencapai tujuan,
maka akan menimbulkan permasalahan.
Masalah
merupakan tantangan dalam
menjalani hidup, terlebih
di zaman modern seperti ini,
tantangan hidup akan semakin berat. Manusia dituntut untuk mampu bertahan
hidup ditengah-tengah krisis
ekonomi, moral maupun pendidikan. Dalam
menjalani kehidupan seseorang
tidaklah luput dari
suatu masalah. Setiap individu
memiliki masalah yang berbeda-beda begitu pula cara penyelesaiannya.
Sebagian individu mampu menyelesaikan
masalahnya dengan baik sementara
beberapa dari individu
tersebut terkadang tidak
mampu untuk menyelesaikan masalah
yang sedang dihadapinya.
Ketidakmampuan menyelesaikan masalah menyebabkan timbulnya
distres. Distres tersebut dapat menimbulkan emosi negatif atau afek
negatif. Misalnya sedih, kecewa, putus asa, depresi, tidak berdaya, frustasi,
marah, dendam dan emosi-emosi negatif lainnya.
Emosi
berkaitan dengan perasaan
yang dialami oleh
seseorang. Emosi muncul dari
dalam diri seseorang
yang sering diungkapkan dengan berbagai ekspresi seperti
sedih, gembira, kecewa,
bersemangat, marah, benci, dan
cinta. Emosi yang diberikan
kepada perasaan tertentu
mempengaruhi pola pikir mengenai perasaan
itu dan cara
bertindak. Hal ini
disebabkan karena emosi merupakan faktor
dominan yang mempengaruhi perilaku
seseorang. Kesadaran dan
pengetahuan tentang emosi
memungkinkan setiap individu
untuk mampu membangun hubungan
yang baik untuk bersosialisasi dengan lingkungan.
Banyak
cara untuk seseorang
menyalurkan emosinya. Penyaluran
emosi bisa dilakukan dengan
cara positif bisa
juga dengaan cara
negatif. Contoh penyaluran emosi
dengan cara positif misalnya melakukan aktivitas yang disukai sepeti olah
raga, nonton film,
pergi jalan-jalan dengan
teman, membaca buku atau kegiatan
positif lainnya. Berbeda dengan sebagian
individu memilih untuk menyalurkan
dengan cara negatif
misalnya mengkonsumsi narkoba,
minum-minuman beralkohol atau
dengan cara menyakiti dirinya
(self injury). Menurut Gratz dkk.
(dalam Hasking dkk, 2002: 5) self injury berfungsi untuk mengurangi emosi
negatif dan stress.
Ada
orang yang masih
dapat mengontrol dirinya
sehingga emosi yang dialami
tidak tercetus keluar
dengan perubahan atau
tanda-tanda kejasmanian. Hal ini berkaitan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ekman dan Friesen yang
dikenal dengan display rules. Menurut Ekman dan Friesen (dalam Walgito, 2002:
161) adanya tiga rules, yaitu masking, modulation dan simulation.
Masking
adalah keadaan seseorang
yang dapat menyembunyikan atau dapat
menutupi emosi yang
dialaminya. Misalnya orang
yang sangat sedih kerena kehilangan anggota keluarganya.
Kesedihan tersebut dapat diredam atau dapat
ditutupi, dan tidak
adanya gejala kejasmanian
yang tampaknya menyebabkan rasa
sedih tersebut. Pada modulation
orang tidak dapat meredam secara tuntas mengenai gejala
kejasmaniannya tetapi hanya
dapat mengurangi saja. Jika
misalnya karena sedih ia menangis
tetapi tangisannya tidak mencuat-cuat. Pada simulation orang tidak mengalami suatu emosi,
tetapi ia seolah-olah mengalami emosi
dengan menampakkan gejala-gejala
kejasmanian. Seorang pelaku
self injury mempunyai
masking yang cukup
bagus karena mereka cenderung mempunyai
kepribadian yang introvert.
Mereka mampu menutupiemosi negatif dari orang lain dengan cara menyalurkannya kepada
perilaku selfinjury tersebut. Jadi self
injury merupakan perilaku yang sifatnya rahasia.
Self
Injury adalah suatu
bentuk perilaku yang
dilakukan individu untuk mengatasi rasa
sakit secara emosional
dengan cara melukai
dirinya sendiri, dilakukan
dengan sengaja tapi
tidak dengan tujuan bunuh diri.
Self injury biasa dilakukan sebagai
bentuk dari pelampiasan
atau penyaluran emosi yang
terlalu menyakitkan untuk diungkapkan
dengan kata-kata. Hal
ini sesuai dengan pendapat Grantz (dalam Kanan dkk,
2008: 68) perilaku self injury sering
dilihat sebagai cara mengelola
emosi dimana seseorang
tidak tahu bagaimana mengekspresikan perasaan yang
terlalu menyakitkan. Jika self injury berlangsung terus-menerus maka akan
berubah menjadi percobaan untuk bunuh diri.
Self
injury sebagian besar adalah fenomena
remaja. Ada kesepakatan luas
bahwa usia rata-rata onset adalah 14-16
tahun, tetapi benar juga bahwa
individu dapat memulai perilaku self
injuury di masa kecil dan masa dewasa
(Whitlock, 2009: 2). Sedangkan menurut Favazza & Conterio (dalam
Klonsky dan Jennifer, 2007: 1046) usia onset biasanya adalah sekitar usia 13
atau 14 tahun. Setidaknya dua studi
perguruan tinggi menunjukkan bahwa sekitar seperempat dari mereka yang
melaporkan self injury mulai di tahun-tahun kuliah (Whitlock, 2009: 2).
Mahasiswa
terkait dalam pemecahan
masalah dinilai mampu
membuat rancangan pemecahan
masalah dengan benar,
dapat menjawab masalah dengan
benar berdasarkan langkah-langkah pemecahan
masalah serta dapat mengevaluasi argumen
yang relevan dalam
memecahkan masalah. Setidaknya mahasiswa tidak melakukan perilaku self injury sebagai coping dalam hidupnya karena
mahasiswa dinilai mampu berpikir dengan baik dalam menghadapi suatu
permasalahan namun kemampuan-kemampuan ini tidak dimiliki oleh mahasiswa
sebagai subjek penelitian.
Subjek cenderung tidak
mampu dalam menghadapi masalahnya dengan
baik dan memilih
melakukan coping maladaptif
yaitu perilaku self injury.
Self
injury dianggap sangatlah
membantu bagi para
pelakunya seperti halnya pada
subjek yang akan
diteliti. Hasil wawancara
awal subjek mengemukakan bahwa
self injury dapat
membantu mengkomunikasikan apa yang tidak dapat dikatakan secara verbal
dan untuk mengekspresikan kemarahan pada orang lain dengan mengarahkannya pada
tubuh sendiri. Penelitian Zlotnick, dkk
(1997) self injury
pada populasi umum
dan klinis telah melaporkan kuat asosiasi dengan indikator disregulasi
emosi seperti keputus-asaan dan kemarahan (dalam Hasking dkk, 2002: 5).
DSM-V menjelaskan
bahwa seseorang dikatakan
pelaku self injury
jika: (1) Seseorang
telah terlibat self
injury selama dua
belas bulan terakhir, setidaknya dilakukan
pada lima hari
yang berbeda (2)
Self injury bukan merupakan hal
yang sepele (misalnya
menggigit kuku), dan
tidak merupakan bagian dari
sebuah praktek yang diterima secara sosial (misalnya menindik atau tato).
Perilaku
self injury merupakan
suatu hal yang
dirahasiakan bagi para pelakunya. Subjek
tidak ingin orang
lain mengetahui bahwa
dirinya seorang pelaku self
injury dengan alasan
rasa malu dan takut
atas anggapan orang
lain yang menilai dirinya bodoh serta takut orang-orang disekitarnya
akan menjaughi dirinya. Meskipun Self
injury merupakan sesuatu
hal yang sangat
rahasia dikalangan
pelakunya, namun self
injury sangatlah menarik untuk
dibahas dan diteliti. Bagaimana
latar belakang keluarga
dan lingkungan sosial
subjek? Bagaimana dinamika perasaan
subjek ketika sebelum,
saat dan sesudah melakukan self
injury? Bentuk perilaku self
injury apa yang
dilakukan subjek? Kemudian, apa
penyebab dan dampak
dari perilaku self
injury tersebut? Serta bagaimana gambaran
karakteristik pada diri
subjek yang berhubungan
dengan perilaku self injury?
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut merupakan sesuatu
yang ingin dicari penjelasannya
yang merupakan gambaran
secara keseluruhan perilaku self
injury pada mahasiswa.
B.
Identifikasi
masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah, maka peneliti dapat mengidentifikasikan masalah sebagai
berikut:
1.
self injury
masih di anggap hal biasa atau sebagai hal yang umum dilakukan. Sebenarnya
perilaku self injury termasuk perilaku maladaptif.
2.
Self injury
biasanya di lakukan oleh orang-orang berkepribadian introvert dan dengan self
injury inilah mereka melampiaskan emosinya yang tidak bisa tersampaikan secara
verbal, perilaku self injuri biasanya di tampakkan melalui tindakan.
3.
Latar belakang
keluarga dan lingkungan sosial menjadi penyebab perilaku self-injury
C.
Pembatasan
Masalah
Studi kasus ini perlu di batasi hal-hal apa yang akan di teliti, agar tidak
mengkaburkan fokus peneliti. Dalam studi
kasus ini akan meneliti gambaran mengenai self injury pada mahasiswa, maka
dapat ditentukan penegasan istilah sebagai berikut:
a. Self
injury adalah perilaku melukai diri sendiri secara sengaja dengan tujuan
mengatasi masalah emosi tanpa maksud bunuh diri.
b. Mahasiswa
adalah seorang pria atau wanita yang sedang menempuh pendidikan perguruan
tinggi.
D.
Rumusan
Masalah
Penjelasan latar belakang masalah diatas
memunculkan rumusan fokus kajian yang akan diteliti, yaitu:
1. Bagaimana
latar belakang keluarga dan lingkungan sosial pelaku self injury?
2. Bentuk
self injury apa yang dilakukan?
3. Apa
penyebab dan dampak perilaku self injury?
4. Bagaimana
perasaan sebelum dan sesudah melakukan self injury
E.
Tujuan
penelitian
Penelitian ini yang ingin dicapai oleh
peneliti adalah
1) bertujuan
untuk mengetahui perilaku self injury pada mahasiswa
2) Mengetahui
bagaimana dinamika perasaan ketika sebelum, saat dan sesudah melakukan self
injury.
3) Mengetahui
bentuk-bentuk perilaku self injury yang dilakukan.
4) Mengetahui
apa penyebab dan dampak dari perilaku self injury.
5) Mengetahui
bagaimana gambaran karakteristik kepribadian yang berhubungan dengan perilaku
self injury?
F.
Manfaat
penelitian
1. Manfaat
teoritis
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan oleh peneliti lain serta
menambah pengetahuan bagi peneliti maupun masyarakat luas tentang perilaku self
injury pada mahasiswa
2. Manfaat
praktis
Manfaat
praktis yang dihasilkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan jawaban
terhadap permasalahan yang diteliti yaitu menjelaskan tentang gambaran self injury
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
A. Pengertian Self-Injury (Penderita
diri non bunuh diri)
Keputusasaan
telah ditemukan terkait dengan bunuh diri, meskipun beberapa penelitian
menemukan bahwa faktor ini dikacaukan oleh adanya depresi. Faktor psikososial
seperti psikopatologi keluarga , perselisihan keluarga , pelecehan , dan
kehilangan orang tua karena kematian sampai dengan perceraian. Masalah hubungan
sebaya , termasuk diintimidasi , telah ditemukan terkait dengan usaha bunuh
diri tapi tidak dengan bunuh diri. Self-injury, yaitu melukai diri sendiri
dalam bentuk pemotongan anggota tubuh. Individu melukai diri untuk banyak
alasan, seperti untuk meringankan kesedihan, untuk menghukum diri, dan untuk mendapatkan
perhatian.
Sebagai
orang sengaja mencederai dirinya tanpa berusaha mengakhiri hidupnya. Bentuk
paling sering perilaku mencederai-diri non-bunuh diri melibatkan mengiris,
membakar, atau menoreh kulit, biasanya di tempat dimana luka dan parut yang
diakibatkannya dapat disembunyikan dengan mudah dari orang lain (Levenkron,
2006). Pencederaan- diri non- bunuh diri harus dibedakan dari tren fashion,
seperti menindik dan menato. Orang membuat tato dan menindik berbagai bagian
tubuhnya dengan berbagai ornamen dan perhiasan karena efek penampilannya
dianggap bergaya atau “berbeda”. Kegiatan ini dilakukan terlepas dari kesakitan
yang harus dialami orang yangbersamngkutan. Sebaliknya, orang yang terlibat
pencederaan-diri
non-bunuh diri melakukannya karena rasa sakit
itu memiliki tujuan yang berguna bagi mereka terlepas dari dampaknya dari
penampilan mereka.
Masalah
ini dapat memiliki banyak bentuk dan dikaitkan dengan beragam jenis gangguan
mental. Menyakiti-diri secara sengaja dimasukkan dalam DSM-IV-TR sebagai salah
satu simtom gangguan kepribadian ambang, tetapi juga terjadi pada para
penderita gangguan lain, khususnya gangguan penggunaan substansi, gangguan
makan depresi, dan gangguan stress pasca trauma. Kira-kira 4% dalam populasi
secara umum melaporkan bahwa mereka pernah terlibat perilaku pendederaan-diri
non- bunuh diri dan banyak diantara mereka yang tidak memnuhi syarat untuk
diagnosis gangguan tertentu (klonsky, oltmanns & turkheimer, 2003; nock
& kessler, 2006). Kadang-kadang pencederaan diri yang disengaja itu
sendirilah masalah primernya. Mengapa sebagian orang sengaja menyakiti dirinya,
seringkali merusak penampilan tubuhnya sendiri? Beberapa penjelasan yang
berbeda telah dilaporkan (klonesky,2007). Bagi sebagian orang, mengiris adalah
untuk menghukum diri dan refleksi dari frustasi dan amarah.
Pada
kasus lain, orang menggunakan rasa sakit yang dibuatnya sebagai upaya memerangi
periode disosiasi dan perasaan hampa berkepanjangan yang menyertai tidak adanya
anggota keluarga atu teman. Akan tetapi, mekanisme yang paling sering
dilaporkan menunjukkan bahwa pencederaan- diri menjadi suatu cara yang maladaptif
untuk meregulasi keadaan emosional negatif intens. Episode perilaku pencederaan
diri biasanya didahului oleh perasaan cemas, amarah, frustasi, atau sedih.
Emosi ini berkurang dengan cepat begitu pengirisan dimulai, dan orang itu
mengalami kelegaan. Fase final sekuensi itu melibatkan perasaan malu atau
merasa bersalah ketika episodenya selesai dan orang itu merenungkan apa yang
telah dilakukannya.
Seorang
pelaku self injury mempunyai masking yang cukup bagus karena
mereka cenderung mempunyai kepribadian yang introvert. Mereka mampu
menutupi emosi negatif dari orang lain dengan cara menyalurkannya kepada
perilaku self injury tersebut. Jadi self injury merupakan
perilaku yang sifatnya rahasia.
Menurut
Mazelis (2008: 1) self injury adalah sengaja melukai tubuh sendiri
sebagai cara mengatasi masalah emosi dan stres. Orang-orang melukai diri tidak
untuk menciptakan rasa sakit fisik, tapi untuk menenangkan rasa sakit emosional
yang mendalam. Perilaku self-injuri dapat dilihat sebagai kelas perilaku, perilaku
yang sering berulang-ulang dan berirama yang mengakibatkan bahaya fisik untuk
individu ( biaya & amp; matson, 1992, hlm 4 ). Terlebih, perilaku tersebut
harus terjadi tanpa tindakan yang jelas dan maksud membahayakan diri. Hal ini
penting untuk membedakan antara perilaku seperti bunuh diri, yang dikaitkan
dengan keinginan disengaja untuk alasan merugikan diri sendiri, dan self injury
ditemukan dalam orang yang cacat
perkembangannya, yang mungkin terjadi karena hubungan biologis atau dari faktor
lingkungan. Secara sengaja seperti membahayakan diri perilaku yang juga sering
dimaksud sebagai mutilasi diri, self-destructive, atau perilaku masokis ( biaya
& amp; matson, 1992 ).
Self
Injury adalah suatu bentuk perilaku yang dilakukan individu
untuk mengatasi rasa sakit secara emosional dengan cara melukai dirinya
sendiri, dilakukan dengan sengaja tapi tidak dengan tujuan bunuh diri. Self
injury biasa dilakukan sebagai bentuk dari pelampiasan atau penyaluran
emosi yang terlalu menyakitkan untuk diungkapkan dengan kata-kata. Hal ini
sesuai dengan pendapat Grantz (dalam Kanan dkk, 2008: 68) perilaku self
injury sering dilihat sebagai cara mengelola emosi dimana seseorang tidak
tahu bagaimana mengekspresikan perasaan yang terlalu menyakitkan. Jika self
injury berlangsung terus-menerus maka akan berubah menjadi percobaan untuk
bunuh diri.
B.
Jenis-Jenis
Self Injury
Self injury terbagi menjadi beberapa jenis, antara
lain sebagai berikut: (Caperton, 2004: 5)
1) Major
self-mutilatin
Major self-mutilation didefinisikan sebagai
melakukan kerusakan permanen pada organ utama, seperti memotong kaki atau
mencukil mata. Self injury jenis ini biasanya dilakukan oleh individu
yang mengalami tahap psikosis.
2) Stereotipic
self-injury
Stereotypic self injury tidak begitu parah tapi
jauh lebih berulang. Jenis self injury ini biasanya melibatkan perilaku
berulang seperti membenturkan kepala ke lantai secara berulang kali. Individu
yang terlibat dalam jenis self injury ini sering menderita gangguan
saraf seperti Autisme atau Sindrom Tourette.
3) Superficial self-mutilatin
Superficial self-mutilation dijelaskan oleh
sebagai jenis yang paling umum dari self injury. Contoh perilaku superficial
self-mutilation adalah menarik rambut sendiri dengan sangat kuat, menyayat
kulit dengan benda tajam, membakar bagian tubuh, membanting tubuhnya sendiri,
dan membenturkan kepala. Ada tiga sub-tipe dari jenis self-injury.
Ketiga sub-tipe episodik, repetitive dan kompulsif. Kompulsif self injury serupa
dengan gangguan psikologis seperti Obsesif-Compulsive Disorder. Sub tipe
ini lebih dalam bawah sadar dibandingkan dengan dua sub tipe lainnya dan tidak
dilakukan sebagai suatu keharusan. Episodik dan repetitive self injury bervariasi
dalam cara melakukannya. Keduanya terjadi di episode mana self injury akan
mewujudkan dirinya lebih baik pada saat waktu tertentu, namun perbedaannya
adalah bahwa individu-individu yang digambarkan sebagai berpartisipasi dalam repetitive
superficial self-mutilation melihat fakta bahwa mereka melukai diri sendiri
sebagai bagian penting dari identitas mereka dan bahkan mengembangkan siapa
mereka sebagai pelaku self injury.
C.
Bentuk-bentuk Self Injury
Self Injury dalam istilah lain dikenal sebagai Self
Harm, bentuk paling umum dari self injury adalah membuat irisan
dangkal pada lengan atau tungkai. Menurut Whitlock, dkk. (2006: 117)
bentuk-bentuk self injury antara lain:
a. Menggores, menggaruk atau mencubit yang dapat
menimbulkan tanda pada kulit dan menyebabkan kulit berdarah
b. Membanting atau memukulkan objek kediri sendiri
sehingga menimbulkan luka memar atau berdarah
c. Mencabik-cabik kulit
d. Mengukir kata-kata
atau bentuk-bentuk tertentu di permukaan kulit
e. Menyuluti atau
membakar kulit dengan rokok, api ataupun air panas
f.
Menarik rambut secara paksa dengan jumlah yang banyak.
Menurut
Kanan dan Finger (2005: 3) bentuk-bentuk self injury yang bisa dilakukan
yaitu:
a. Menggores bagian tubuh tertentu
b. Membakar bagian tubuh tertentu dengan
rokok
c. Memukul diri sendiri, memukul tembok
atau benda keras yang lain
d. Membuat tubuh menjadi luka memar atau
patah tulang
e. Membenturkan kepala
f. Menarik rambut
g. Menghantamkan tubuh terhadap suatu objek
h. Mencubit
D.
Karakteristik Pelaku Self Injury
Menurut
Knigge (1999: 2) karakteristik umum pelaku
self injury adalah sebagai berikut:
1) Sangat
tidak menyukai diri mereka sendiri
2) Sangat
peka terhadap penolakan
3) Terus-menerus
marah pada diri mereka sendiri
4) Cenderung
untuk menekan kemarahan
5) Memiliki
tingkat agresif yang tinggi, yang mereka setuju sangat kuat dan sering menekan
atau mengarahkan pada diri
6) Kurangnya
impuls kontrol
7) Cenderung
bertindak sesuai dengan suasana hati mereka saat itu
8) Cenderung
tidak merencanakan masa depan
9) Mengalami
depresi dan self destructive
10) Tidak
henti-hentinya menderita kecemasan
11) Cenderung
ke arah cepat marah
12) Tidak
merasa diri mereka mampu mengatasi masalah, tidak memiliki kemampuan untuk
mengatasi masalah.
Pelaku
self injury mempunyai karakteristik umum yaitu: sangat tidak menyukai
diri mereka sendiri, sangat peka terhadap penolakan, terus-menerus marah pada
diri mereka sendiri, cenderung untuk menekan kemarahan, memiliki tingkat
agresif yang tinggi, umumnya depresi atau stress berat, mengidap kecemasan
kronis.
E.
Faktor
Penyebab Self Injury
Menurut
Martinson (1999: 1) faktor penyebab dilakukannya self injury antara lain:
a. Faktor keluarga
Faktor-faktor
yang berasal dari luar diri individu yaitu yang berasal dari lingkungan keluarga,
seperti tumbuh didalam keluarga yang kacau, kurang kasih, pernah mengalami
kekerasan, adanya komunikasi yang kurang baik dan tidak dianggap keberadaannya
atau diremehkan. Kurangnya peran model pada masa kecil dalam mengekspresikan
emosi serta kurangnya komunikasi antar anggota keluarga.
b. Faktor psikologis
Pelaku
self injury merasakan adanya kekuatan emosi yang tidak nyaman dan tidak mampu
untuk mengatasinya.
c. Faktor kepribadian
Dalam sebuah penelitian (Cloninger & Svrakic,
1997)
faktor penyebab perilaku self injury adalah sifat temperament. Tipe
kepribadian introvert memiliki kecenderungan self injury lebih besar
dibandingkan tipe kepribadian ekstrovert saat sedang menghadapi masalah. Pola
perilaku self injury sangat bergantung pada mood seseorang. Selain itu adanya
harga diri yang rendah, pola pemikiran yang kaku dan sulitnya mengkomunikasikan
perasaan menjadi faktor penunjang bagi seseorang untuk melakukan self injury.
d. Faktor Gender
Hasil dari penelitian (Sarah
Elizabeth Gollust, BA; Daniel Eisenberg, PhD; Ezra Golberstein, BA) dari 5.021
siswa yang direkrut, 2.843 menyelesaikan survei, menghasilkan tingkat tanggapan
56,6%. mahasiswa pascasarjana dan perempuan lebih mungkin untuk melakukan
self-injury karena depresi berat gangguan panik.
PENGUMPULAN
DATA
A. Alat
Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data
yang di gunakan adalah wawancara open-ended
dan observasi langsung. Dalam penelitian self injury ini, peneliti menggunakan
tekhnik wawancara open-ended karena
peneliti memerlukan data terkait kejadian awal perilaku self injury dan data
yang lain terkait self injury. Dan observasi langsung karena peneliti
memerlukan data terkait tingkah laku dan proses self injury berlangsung.
1. Wawancara
a) Pengertian
wawancara
Wawancara
merupakan tehnik pengumpulan data dengan cara berkomunikasi, bertatap muka yang
disengaja, terencana, dan sistemastis antara pewawancara (interviewer) dengan individu
yang diwawancarai (interviewee).
Proses
wawancara pada awalya hanya dapat dilakukan melalui tatap muka, tetapi sejalan
dengan perkembangan teknologi komunikais, proses wawancara dapat dilakukan
melalui jarak jauh, seperti melalui telepon, atau menggunakan telepon seluler
dengan sistem three-G.
Fungsi
proses wawancara dalam pelayanan bimbingan dan konseling untuk memahami
berbagai potensi, sikap, pikiran, perasaan pengalaman, harapan, dan masalah
peserta didik, serta memahami
potensi dan kondsi
lingkungannya baik lingkungan pendidikan, masyarakat, maupun lingkungan
kerjanya secara mendalam.
Manfaat
asesment wawancara dalam pelayanan bimbingan dan konseling mampu memperoleh
informasi secara mendalam, sekaligus dapat menciptakan rapport yang baik
meningkatkan intensits hubungan antara konselor dan peserta didik/klien,
mendorong pengembangan kemampuan peserta didik untuk membuka diri, meningkatkan
pemahaman antara konselor-peserta didik, mengembangkan kemampuan konselor dalam
menerima peserta didik, dan mengembangkan kepercayaan pada relasi
konselor-peserta didik.
b)
Kelebihan dan kekurangan wawancara
1. Kelebihan
wawancara
a) Pertanyaan-pertanyaan
yang kurang jelas dapat diperjelas kembali oleh wawancara sehingga individu
yang diwawancarai lebih memahami apa maksud pertanyaan yang diajukan.
b) Bahasa
yang digunakan wawancara dapat disesuaikan dengan bahasa yang digunakan atau
kemampuan interviewee menangkap pertanyaan.
c) Melalui
komunikasi langsung tatap muka, diharapkan menimbulkan suasana keakraban yang
baik, terbentuk rapport, sehingga akan mengoptimalkan hasil wawancara.
2. Kekurangan
wawancara
a) Wawancara
membutuhkan waktu yang lama dan lebih banyak tenaga.
b) Membutuhkan
keahlian yang memadahi untuk melakukan wawancara, sehingga memerlukan pendidikan
dan latihan khusus dalam waktu tertentu untuk menjadi pewawancara yang baik.
c) Hasil
wawancara akan menjadi bias bila terbentuk prasangka stereotip, sehingga
hasilnya menjadi tidak objektif.
c. Jenis-jenis
wawancara
Metode
wawancara dikelompokkan menjadi 4 jenis, yang dibedakan menurut responden,
prosedur, situasi, dan segi perencanaannya yaitu sebagi berikut:
1. Wawancara
menurut responden
Bila
di tinjau dari sisi responden, wawancara di bedakan atas wawancara langsung dan
wawancara tidak langsung. Wawancara langsung merupakan wawancara yang dilakukan
kepada indivudu yang ingin kita
kumpulkan datanya. Sedangkan wawancara tidak langsung dilakukan untuk
mengumpulkan informasi tentang seseorang individu melalui individu lain yang
memiliki informasi yang dibutuhkan.
2. Wawancara
menurut prosedur
Di
bedakan menjadi dua segi yaitu terstruktur dan tidak terstruktur. Wawancar
terstruktur, pertanyaan di susun dalam suatu daftar terinci dan dijadikan pegangan oleh pewawancara utnuk melakukan
wawancara. Sedangkan wawancara tidak terstruktur pertanyaannya tidak di susun
rinci, tetapi hanya pokok-pokok pertanyaannya saja, sehingga memberi kesempatan
pewawancara mengadakan variasi, selain itu wawancara tidak terstruktur bersifat
lebih fleksibel.
3. Wawancara
menurut situasi
Wawancara
dapat dilakukan pada berbagai situasi, berdasarkan situasi saat proses
berlangsung wawancara dapat dibedakan menjadi wawancara formal dan informal.
Wawancara formal dilakukan pada ruang yang telah disiapkan, pola hubungan
resmi/formal. Sedangkan wawancara informal dilakukan tidak di tempat khusus,
pola hubungan santai/tidak resmi.
4. Wawancara
dilihat dar segi perencanaan
Berdasarkan
perencanaan wawancara dibedakan menjadi wawancara terencan dan insidental.
Wawancara terencana dilakukan dengan waktu dan tempat yang telah di rencanakan,
sumber data juga telah dihubungi dan telah di capai kesepakatan bersama.
Sementara, wawancara insidental dilakukan secara kebetulan ada kesempatan baik,
serta belum ditetapkan waktu dan tempatnya.
d) Langkah-langkah
penyusunan pedoman wawancara
a. Mentapkan
tujuan wawancara
b. Menetapkan
bentuk pertanyaan sesuai tujuan
c. Merumuskan
butir pertanyaan dengan bahasayangdi pahami
d. Pertanyaan
harus fokus, sehingga interviuwee akan menjawab sesuai dengan yang dibutuhkan
e. Rumusan
pertanyaan jangan memiliki makna ganda
f. Rumusan
pertanyaan harys netral, tidak mengandung stereotip, tidak mengandung SARA,
sugestif, atau menghakimi interviuwee
g. Bila
bntuk wawancara terstruktur butir pertanyaan di buat rinci sedangkan bila betuk
wawancara tidak terstruktur cukup dituliskan pokok-pokok pertanyaan saja.
2. Observasi
a) Pengertian
Observasi
Secara
garis besar terdapat dua rumusan tentang observasi yaitu pengertian secara
sempit dan luas. Dalam arti sempit, observasi berarti pengamatan secara langsung
terdapat gejala yang diteliti, dalam arti luas observasi meliputi pengamatan
yang dilakukan secra langsung maupun tidak langsung terdapat objek yang sedang
diteliti.
Menurut
Nurkancana (1993;35) menyatakan bahwa observasi adalah suatu pengumpulan data dengan
mengadakan pengamatan langsung terdapat suatu objek dalam suatu periode
tertentu dan mengadakan pencatatan secara sistematis tentang hal-hal tertentu
yang diamati.
Menurut
Stamboel (1986:173) menyatakan bahwa yang dimaksudkan metode observasi ialah suatu
pengamatan dalam jangka waktu tertentu dan dalam situasi sosial yang bersifat
”bebas” ataupun bermaksud dimana si subjek tidak merasa diamati sehingga akan
bertingkah laku dalam keadaan yang wajar.
Sementara
itu, Surya dan Natawidjaja menyatakan observasi sebagai teknik pengumpul data
adalah pengamatan yang memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
a. Dilakukan
sesuai tujuan yang dirumuskan terlebih dahulu
b. Dilakukan
secara sistematis
c. Hasilnya
dicatat dan diolah sesuai tujuan
d. Dapat
diperiksa validitas, realibitas, dan ketelitian
e. Bersifat
kualitatif
Jadi dapat disimpulkan bahwa, observasi
adalah sebagai alat pengumpul data kegiatan pengamatan (secara indrawi) yang
direncanakan, sistematis, dan hasilnya dicatat serta dimaknai (di
interprestasikan) dalam rangka memperoleh pemahaman subjek yang diamati.
b) Bentuk-bentuk
Observasi
Menurut
Surya dan Natawidjaja (Rahardjo & Gunanto: 47) membedakan observasi menjadi
tiga, yaitu:
1) Observasi
partisipatif, ialah observasi dimana orang yang mengobservasi (pengamat,
observer) benar-benar turut serta mengambil bagian dalam kegiatan yang
dilakukan oleh orang atau objek yang diamati (observee, observi) misalnya guru
mengamati perilaku siwa di kelas sambil mengajar, sehingga guru langsung dalam
kegiatan dalam pembelajaran yang dilakukan guru dan siswa.
2) Observasi
sistematis, atau disebut juga observasi terstruktur. Ialah observasi dimana
sebelumnya telah diatur struktur yang berisikan faktor-faktor yang telah diatur
berdasarkan kategori yang hendak di observasi. Pada observasi sistematis ini,
observer sebelumnya menyusun kisi-kisi yang memuat faktor-faktor yang akan di
observasi beserta kategori masalahnya. Berdasarkan kisi-kisi tersebut observer
menjabarkan dalam daftar cek dan atau skala penilaian.
3) Observasi
eksperimental, ialah observasi yang dilakukan secara non partisipatif dan
sistematis, untuk mengetahui perubahan-perubahan atau gejala-gejala sebagai
akibat dari situasi yang sengaja diakdakan. Misalnya untuk mengetahui
perkembangan klien setelah dilakukan treatment dalam konseling individual
(perorangan); konselor mengobservasi perilaku siswa tersebut yang mengalami
kesulitan untuk mengemukakan pendapat dalam diskusi.
c) Kelebihan
dan Kekurangan Observasi
Menurut
Gantina (2011:58) terdapar beberapa kelebihan dan kekurangan dalam observasi,
yaitu:
1. Kelebihan
pengamatan
a) Memberikan
informasi yang tidak mungkin didapatkan melalui teknik lainnya
b) Memberi
tambahan informasi yang sudah didapat teknik lain
c) Dapat
menjaring tingkah laku nyata bila saat observasi tidak diketahui
d) Pengamatan
bersifat selektif
e) Pengamatan
mendorong perkembangan subjek pengamatan
2. Kekurangan
a) Pengamatan
tidak dapat dilakukan terhadap beberapa situasi atau beberapa peserta didik
secara sekaligus
b) Hasil
pengamatan dari suatu kejadian tidak dapat diulang pada waktu lain
c) Untuk
mendapatkan gambaran menyeluruh dan ketepatan hasil, pengamatan perlu dilakukan
beberapa kali sehingga memerlukan waktu yang panjang
d) Penafsiran
hasil observasi sering kali bersifat subjektif, sehingga diperlukan
keterlibatan beberapa orang pengamat
e) Sifat
pengamat, jarak waktu yang panjang antara satu situasi dengan situasi yang
diamati, dan objektifitas pencatatan akan sangat mempengaruhi validitas hasil
pengamatan
B. Tempat
dan waktu
NO
|
TEMPAT
|
WAKTU
|
1
|
Wawancara
pertama dilakukan di cafe
|
Jumat,
19 mei 2015 pukul 20.00-21.00
|
2
|
Wawancara
dilakukan di kos
|
Minggu,
26 mei 2015 pukul 20.00 – 22.00
|
3
|
Wawancara
di lakukan di kos
|
Kamis,
29 mei 2015 pukul 18.30-22.30
|
C. Biodata
klien
Nama : Sasa (bukan nama
sebenarnya)
Jenis
kelamin : Perempuan
Tempat,
tanggal lahir : Pati, 21 Juli 1989
Alamat sekarang : Blunyahrejo, Yogyakarta
Status : Mahasiswa
Pendidikan
terakhir : SMA
BAB
IV
A. Data
Permasalahan
Studi kasus yang dilakukan adalah meneliti mengenai
perilaku self injury. Sasa (bukan nama sebenarnya) adalah anak ke-3 dari 4
bersaudara, kedua kakaknya perempuan dan adiknya laki-laki. Orangtuanya adalah
bekerja di warung makan miliknya.
Perilaku ini di alami Sasa semenjak kelas XII atau
kelas 3 SMA, awalnya karena Sasa merasa sakit hati terhadap pacarnya yang
terlalu mengekang. Karena tekanan tersebut dan keseringan melihat film action, maka Sasa mulai meniru perilaku
seperti menyayat-nyayat lengannya karena menurutnya menangis saja tidak cukup
untuk melampiaskan kekesalan dan emosi negatif tersebut. Sasa selalu melakukan
perilaku ini setiap kali bertengkar dengan pacarnya, menurutnya dengan
melakukan ini perasannya lega dan tenang. Ternyata permasalahan terbesarnya
adalah karena pihak orang tua keduanya tidak setuju dengan hubungan mereka,
hingga akhirnya Sasa benar-benar stess berat dan minum obat tanpa memperkirakan
dosis, waktu itu yang ada di pikirannya hanya ingin mengakhiri hidupnya,
beruntunglah karena Tuhan masih memberi kesempatan, Sasa di rawat di rumah
sakit karena dosis obat yang di minumnya berlebihan.
Setelah lulus SMA, Sasa merantau ke
Yogyakarta untuk bekerja. Mereka (Sasa dan pacarnya) berhubungan jarak jauh, perilaku
self injury ini masih saja terjadi. Setahun kemudian, Sasa memutuskan untuk
kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Ketika memasuki semester
4, Sasa putus dengan pacarnya dan pada saat itu juga Sasa cuti selama 1 tahun
dengan alasan sering sakit-sakitan. Perilaku self injuri ini masih saja di
lakukan dan menjadi suatu pelarian ketika mengalami emosi-emosi negatif,
sampai-sampai badannya kurus kering apalagi memang postur tubuh Sasa ini tinggi
hingga sangat terlihat. Setelah setahun cuti, Sasa kembali kuliah. Bersamaan
dengan berakhirnya masa cuti, Sasa juga telah move on dari mantannya dan sudah mempunyai pacar baru, walaupun
pacarnya berondong, tetapi mereka mampu menjalaninya dengan baik. ternyata
tidak semua hubungan berjalan dengan baik, di tahun pertama hubungan Sasa
dengan pacarnya tidak ada hambatan yang berarti, namun mamasuki tahun kedua ada
masalah yang cukup serius yaitu orang tua mereka tidak setuju. Di masa-masa
seperti ini, perilaku self injury Sasa timbul kembali, ia kembali melakukan menyayat
tangan dengan pisau, kaca, silet, dan gunting. Sasa juga membenturkan kepala ke
tembok serta meninju kaca, tetapi ia melakukan ini ketika tidak ada orang yang
melihat atau ketika ia sendiri. Sebenarnya Sasa agak terganggu dengan perilaku
tersebut, tetapi ia belum menemukan cara untuk mengurangi emosi negatif
tersebut, ketika sedang merasakan emosi negatif yang di pikirkan hanya melukai
diri sendiri.
Di asrama tempat tinggal Sasa kebetulan
cukup sepi, sehingga sangat mendukung untuk melakukan self injuri. Lingkungan
asrama ini cukup cuek. Setelah melakukan wawancara dengan salah satu teman
asrama Sasa, Ed (bukan nama sebenarnya) juga pernah mengalami hal yang sama
yaitu self injury. Mungkin karena Ed pernah mengalami perilaku self injury, Ed
menyadari bahwa Sasa juga pelaku self injury. Sehingga Ed berusaha mendampingi
Sasa. Tetapi selalu ada saja cara Sasa melakukan self injury.
B. Layanan
Bimbingan dan Konseling
Berdasarkan kasus self injury yang diderita Sasa (bukan nama
sebenarnya), tentu hal ini sangat mengganggu keberlangsungan hidup yang
ketergantungan, yaitu merasa puas jika melampiaskan emosi negatifnya pada
perilaku sef injury. Oleh karena itu layanan bimbingan dan konseling sangat
diperlukan untuk membantu mengurangi atau menyembuhkan gangguan perilaku self
injury yang diderita Sasa.
Layanan bimbingan dan konseling yang tepat menurut peneliti adalah
dengan memberikan layanan konseling individual, yaitu proses pemberian bantuan
kepada konseli secara individual dengan tatap muka atau langsung secara
berkesinambungan (continue) untuk
membantu klien menyelesaikan masalahnya secara mandiri.
Dalam kasus ini, peneliti menggunakan pendekatan Behavioral.
Menurut
pandangan behavioral, manusia pada hakikatnya adalah pasif dan mekanistis,
manusia di anggap sebagai sesuatu yang dapat di bentuk dan diprogram sesuai
dengan keinginan yang membentuknya. Manusia memulai kehidupannya dengan
memberikan reaksi terhadap lingkungannya, dan interaksi ini menghasilkan
pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian. Perilaku seseorang
ditentukn oleh macam dan banyaknya penguatan yang diterima dalam situasi
hidupnya. Jadi kesimpulannya teori behavior ini beranggapan bahwa perilaku
manusia adalah efek dari lingkungan, pengaruh yang lebih kuat itulah yang akan
membentuk diri individu.
Dalam kasus Sasa (bukan nama
sebenarnya), Ia belajar dari lingkungan dan pola asuh yang keras dari orang
tuanya. Hukuman yang di terima Sasa berupa fisik dan karena hobinya adalah
menonton film action serta belajar
dari sosial media tentang perilaku self injury ini membuat Sasa akhirnya
terbiasa melakukan self injury bahkan bisa di bilang kecanduan jika emosi
negatifnya muncul.
Mekanisme layanan konseling
individual dengan memberi assesment
(penilaian fungsional) untuk mengetahui
lebih dalam tentang Sasa yaitu melalui instrumen wawancara. Menentukan goal setting (menetapkan tujuan) yaitu
dengan membantu Sasa untuk memandang masalahnya atas dasar tujuan-tujuan yang
di inginkan serta kemungkinan hambatan-hambatan situasional tujuan belajar yang
dapat di terima dan diukur sehingga tercapai tujuan yang di inginkan. Lebih
spesifik, peneliti menggunakan teknik assertive
training yaitu teknik membantu konseli dengan mengekspresikan perasaan dan
pikiran yang ditekan terhadap orang lain secara lugas tanpa agresif. Peneliti
juga menggunakan teknik self manajement yaitu dengan cara merancang teknik/cara
untuk mengendalikan dan mengubah perilaku sendiri melalui pantau diri, kenali
diri, dan ganjar diri.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Self-injury adalah
perilaku yang dengan sengaja melukai tubuh sendiri sebagai cara mengatasi
masalah emosi dan stres. Orang-orang melukai diri tidak untuk menciptakan rasa
sakit fisik, tapi untuk menenangkan rasa sakit emosional yang mendalam.
Biasanya dilakukan secara berulang-ulang dam periode yang tidak bisa
ditentukan. Self-injury dilakukan apabila pelaku merasa sangat terbebani dengan
masalahnya, dalam kasus ini Sasa merasa terbebani yaitu lebih pada masalah
asmara dibanding dengan masalah lainnya seperti masalah keluarga, masalah
akademik dan sosial, masalah asmara kurang dapat ia atasi. Tetapi perilaku juga
di picu oleh oleh pola asuh orang tua yang keras dan otoriter. Merasa terbiasa
dengan hukuman fisik dan suka film action,
Sasa meniru perilaku self injury. Tak di sangka, perilakunya menjadi kebiasaan
pelampiasan emosi negatifnya.
B. Saran
Diharapkan bagi konselor untuk dapat
terus meningkatkan pendidikannya mengenai self-injury, sehingga dapat memberikan
pencegahan, dan penyuluhan bagi masyarakat luas. Sebab masalah self-injury
masih begitu asing di mata masyarakat awam dengan
tujuan
memberikan pengetahuan mengenai perilaku self-injury dengan harapan dapat
mencegah dan menanggulangi terjadinya perilaku self-injury.
Bagi konseli (Sasa), tetap lakukan teknik
assertive training dan teknik self manajement untuk sedikit
demi sedikit mengurangi perilaku tidak menguntungkan ini yang tentunya di bantu
olah konselor.
Bagi peneliti selanjutnya, hati-hati
dalam menentukan teknik yang di gunakan, karena tidak semua permasalahn self injury mendapat penanganan yang
sama. Kesulitan dalam penelitian ini yaitu sulitnya menggali informasi tentang
mantan pacar Sasa, karena Sasa sendiri agak tertutup tentang hal ini.
DAFTAR PUSTAKA
Izzaty, Rita Eka dkk.
2008. Perkembangan Peserta Didik. Yogyakarta:
UNY Press
Jonathan Weiss. 2007. Self-Injurious
Behaviours in Autism: A Literature Review. Journal of Clinical Psychology
Kanan, Linda M and Jennifer Finger. 2005. Self Injury: Awareness and
Strategies for School Mental Healt Provider.
Artikel. Online at. www.docstoc.com. [accessed 25/04/2015,
10.24.36 am].
Komalasari, G., Eka
Wahyuni & Karsih. 2011. Asesmen
Teknik Nontes dalam Perspektif BK Komprehensif. Jakarta: PT Indeks
Latipun, Moeljono N. 2007. Kesehatan Mental (Konsep dan Penerapan)
Edisi Keempat. Malang: UMM Press.
Maidah Destiana. 2013. Self Injury Pada Mahasiswa (Studi Kasus
Pada Mahasiswa Pelaku Self Injury). Skripsi. Fakultas Psikologi. Universitas Negeri Semarang.
Diambil tanggal 13 April 2015
Oltmanns, T.,& Robert Emery. 2013. Psikologi Abnormal. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Rahardjo, Susilo.,
& Gudnanto. 2013. Pemahaman Individu
Teknik Nontes. Jakarta: Kencan
Sarah Elizabeth Gollust, BA; Daniel Eisenberg, PhD; Ezra
Golberstein, BA. Prevalence and correlates of Self- Injury Among University
Students. Journal of proQuest.com
Semiun, Yustinus. 2006. Kesehatan
Mental 1. Yogyakarta: Kanisinus.
Lampiran
Dokumentasi pelaksanaan wawancara
Bukti perilaku self injury
Tidak ada komentar:
Posting Komentar